Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridha Illahi (bagian 1)

Dari Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu beliau berkata: bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, "Allah 'Azza wa Jalla berfirman (yang artinya),

"Semua amal anak Adam adalah baginya kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai, apabila kamu sedang puasa jangan berkata jorok, jangan berteriak-teriak dan jangan berbuat bodoh. Apabila ada seseorang yang mencacinya atau memeranginya maka katakanlah 'Sesungguhnya aku sedang puasa' sebanyak dua kali. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang puasa itu lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat daripada bau minyak kasturi. Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan yang dia bergembira, yaitu ketika berbuka dia bergembira dengan bukanya dan ketika berjumpa Rabbnya dia bergembira dengan puasanya". (Muttafaq 'alaih)

Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridha Illahi (bagian 1), Lintas Ramadhan Islam


Pengantar

Saudaraku, semoga Allah merahmatimu, syariat Islam yang mulia ini telah memberikan kelapangan dan kemudahan bagi ummat manusia. Tidaklah Allah membebankan suatu kewajiban kepada seseorang melainkan dengan memperhatikan kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya),

"Tidaklah Allah membebankan kepada seseorang kecuali menurut kemampuannya". (QS. Al-Baqarah:286)

Demikian pula ibadah puasa yang disyari'atkan kepada kita. Apabila seseorang justru dikhawatirkan tertimpa bahaya dengan melakukan puasa maka dia diperbolehkan bahkan lebih utama untuk tidak berpuasa ketika itu, seperti orang yang sedang sakit dan bepergian jauh. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya),

"Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". (QS. Al-Baqarah:185)

Syaikh Abdurrohman bin Naashir As Sa'di rahimahullah mengatakan dalam kitab tafsirnya, "Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki memberikan kemudahan kepada kalian untuk menempuh jalan-jalan yang menyampaikan kepada keridhaan-Nya dengan semudah mungkin, dan mempermudah jalan-jalan itu dengan sepenuh kemudahan. Karena itulah semua perkara yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya pada asalnya merupakan sesuatu yang sangat mudah". (Taisir karimirrohman, hal. 86).

Pentingnya Mempelajari Tata Cara Puasa

Puasa merupakan salah satu rukun Islam. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,

"Islam dibangun di atas lima perkara, persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa Ramadhan". (Muttafaq 'alaihi)

Umat Islam telah bersepakat tentang wajibnya puasa Ramadhan dan merupakan salah satu rukun Islam yang dapat diketahui dengan pasti merupakan bagian dari agama. Barangsiapa yang mengingkari tentang wajibnya puasa Ramadhan maka dia kafir, keluar dari Islam (lihat Al Wajiz).

Oleh karenanya setiap muslim hendaknya mempelajari ilmu yang terkait dengan pelaksanaan ibadah yang agung ini. Karena ilmu itu lebih didahulukan daripada ucapan dan perbuatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Imam Al Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Beliau berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya),

"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan mintalah ampunan terhadap dosamu". (QS. Muhammad:19)

Syaikh Al 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan, "Al Bukhari rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan kewajiban memulai dengan ilmu sebelum berucap dan berbuat, ini merupakan dalil atsari (berdasarkan penukilan) yang menunjukkan seorang insan mengetahui terlebih dahulu baru kemudian mengamalkan, di sana juga terdapat dalil 'aqli nadhari (berdasarkan pemikiran dan perenungan) yang menunjukkan ilmu itu didahulukan sebelum ucapan dan amalan. Yaitu dikarenakan ucapan dan amalan tidak akan menjadi benar dan diterima hingga bersesuaian dengan aturan syari'at, dan seorang insan tidak mungkin mengetahui apakah amalannya itu sesuai dengan syari'at kecuali dengan ilmu…" (Syarah Tsalatsatul Ushul, hal. 27-28).

Puasa Adalah Ibadah

Ibadah memiliki pengertian yang amat luas dan jelas yaitu, "Segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang nampak maupun yang tersembunyi". (lihat perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang dinukil di Fathul Majid). Dan puasa termasuk di antaranya, puasa adalah amalan yang dicintai Allah, buktinya Allah mewajibkan puasa kepada hamba-hamba-Nya. Allah berfirman (yang artinya),

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa". (QS. Al-Baqarah:183).

Dan tidak mungkin Allah mewajibkan sesuatu kecuali sesuatu itu pasti dicintai dan diridhai-Nya, meskipun sebagian manusia ada yang merasa tidak suka dengannya. Cobalah perhatikan ketika Allah mewajibkan kaum muslimin untuk berperang. Allah berfirman (yang artinya),

"Telah diwajibkan kepada kalian berperang padahal itu kalian benci, bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal sebenarnya itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagi kalian. Allah lah yang lebih tahu dan kalian tidak mengetahui". (QS. Al-Baqarah:216).

Dan dalam menentukan apakah sesuatu amalan itu termasuk ibadah atau bukan bukanlah akal yang menentukan, akan tetapi firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Sebagaimana kaidah yang sudah amat masyhur di kalangan ulama' bahwa hukum asal ibadah (ritual) itu terlarang/haram sampai tegak dalil yang mensyari'atkannya.

Ibadah Hanya untuk Allah


Apabila kita telah mengetahui bahwa puasa adalah ibadah maka ketahuilah saudaraku bahwasanya ibadah itu hanya boleh ditujukan kepada Allah, karena barangsiapa yang memalingkan ibadah kepada selain Allah dia telah terjerumus dalam kesyirikan dan kekafiran. Sebagaimana shalat akan menjadi batal dan rusak apabila pelakunya terkena hadats, maka demikian pula ibadah akan menjadi batal dan rusak apabila tercampuri kesyirikan. Sebagaimana shalat tidak sah tanpa thoharoh maka demikian pula ibadah tidak akan sah tanpa tauhid. (lihat Al Qawa'idul Arba' karya Asy Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya),

"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah kamu menyeru disamping Allah sesuatupun". (QS. Al Jin: 18).

Syaikh Al 'Utsaimin rahimahullah menerangkan, "Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang seorang insan menyeru/beribadah disamping Allah sesuatupun, dan Allah tidaklah melarang dari sesuatu kecuali karena Dia Yang Maha suci lagi Maha tinggi tidak meridhainya. Allah 'Azza wa Jalla berfirman (yang artinya),

"Jika kamu kufur sesungguhnya Allah tidak membutuhkan kamu, dan Allah tidak Ridha kekafiran bagi hamba-Nya dan jika kamu bersyukur niscaya Dia Ridha kepadamu". (QS. Az-Zumar:7).

Dan apabila ternyata Allah tidak meridhai kekufuran dan kesyirikan maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk tidak ridha dengan keduanya, karena seorang mukmin itu keridhaan dan kemarahannya mengikuti keridhaan dan kemurkaan Allah, sehingga dia akan marah terhadap sesuatu yang dimurkai Allah dan akan ridha terhadap sesuatu yang diridhai Allah 'Azza wa Jalla, maka demikian pula apabila Allah tidak meridhai kekufuran dan kesyirikan maka tidak semestinya seorang mukmin justru ridha terhadap keduanya". (Syarah Tsalatsatul Ushul hal. 33-34).

Maka cobalah kita renungkan keadaan kaum muslimin sekarang ini yang sebagian di antara mereka (semoga kita tidak termasuk di dalamnya) bergelimang kesyirikan sementara mereka tidak menyadarinya bahkan membela dan melestarikannya dengan mengatasnamakan tradisi. Bagaimana bisa mereka melalaikan masalah besar ini ?! Apalah artinya mereka berpuasa menahan lapar dan dahaga jika kesyirikan masih melekat dalam hati, ucapan dan amalan mereka. Tidakkah mereka ingat firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya),

"Sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan kepada orang-orang sebelummu, 'Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi". (QS. Az-Zumar:65).

Maka marilah kita pelajari tauhid lebih serius lagi, jangan-jangan kita terjerumus dalam syirik dalam keadaan tidak menyadari. Bagaimana mungkin seseorang bisa berkata 'Saya bersih dari syirik' sementara pengertian dan macam-macamnya pun dia tidak mengenalnya. Tetapi siapakah gerangan yang mau memperhatikannya ??

Syarat Diterimanya Ibadah

Suatu amalan akan diterima di sisi Allah apabila memenuhi dua syarat: ikhlash dan showab/benar. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya),

"Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah Dia mengerjakan amal sholih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Robbnya". (QS. Al-Kahfi:110).

Al Imam Ibnu Katsir rohimahulloh mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya, "Dan dua hal inilah rukun amalan yang diterima; harus didasari keikhlashan kepada Allah serta showab/benar yaitu sesuai dengan syari'at Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam". (Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim juz V hal. 154).

Barangsiapa yang niatnya tidak ikhlash karena Allah maka ibadahnya tidak diterima, Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah berfirman (yang artinya), 'Aku adalah Dzat yang tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa mengerjakan suatu amal yang dicampuri kesyirikan kepada-Ku maka Aku tinggalkan dia beserta kesyirikannya itu.'" (HR. Muslim)

Barangsiapa yang beramal tidak sesuai tuntunan Nabi maka ibadahnya tidak diterima, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak". (HR. Muslim). Jadi kedua syarat ini harus terpenuhi, apabila salah satu saja tidak terpenuhi maka ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah.

Tujuan Puasa

Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin rahimahullah mengatakan, "Tujuan dari puasa bukanlah sekedar mengekang tubuh dalam rangka menahan haus dan lapar serta kesulitan, akan tetapi tujuannya adalah menundukkan jiwa dengan meninggalkan sesuatu yang dicintai demi meraih keridhaan Dzat yang dicintai. Adapun perkara dicintai yang ditinggalkan adalah makan, minum dan jima', inilah nafsu syahwat. Adapun sesuatu yang dicintai yang dicari keridhaan-Nya adalah Allah 'Azza wa Jalla. Maka kita harus senantiasa menghadirkan niat ini bahwasanya kita meninggalkan pembatal-pembatal puasa ini demi mencari keridhaan Allah 'Azza wa Jalla". (Tsamaniyatu Wa Arba'uuna Su'aalan Fish Shiyaam hal. 10).

Puasa Menghimpun 3 Macam Sabar

Puasa adalah ibadah yang paling utama karena ketiga macam sabar terhimpun di dalamnya, yaitu:
1. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah
2. Sabar dalam menahan diri dari terjerumus dalam maksiat kepada-Nya
3. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan

Juga karena Allah menyandarkan ganjaran puasa kepada Diri-Nya sendiri, Allah menjanjikan balasan puasa dari sisi-Nya. Puasa merupakan rahasia antara Robb dan hamba-Nya sehingga ia menjadi amanat paling agung yang harus dijaga (lihat Taisirul 'Allaam juz I hal. 351).

simak artikel selanjutya Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridha Illahi (bagian 2)

Comments

Popular posts from this blog

Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridha Illahi (bagian 5)

Hikmah di Balik Puasa Ramadhan

Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridha Illahi (bagian 3)